Minggu, 12 Februari 2017

binaraga asia

ADE RAI,BINARAGA SEBAGAI GAYA HIDUP


Binaraga serupa dengan memperagakan diri. Keterpaduan antara seni tampil dan olah tubuh menjadi sisi yang menentukan keberhasilannya. Tapi untuk bisa eksis, perlu motivasi dan gaya hidup. Itulah yang tersirat dari sosok Ade Rai, "Hercules" dari Indonesia. Tapi, siapa sangka dulu ia hanyalah seorang anak yang bertubuh sedang-sedang saja?“Pinginnya sih jadi atlet bulu tangkis. Tapi mungkin karena persaingan yang keras dan potensi kurang besar, saya pun gagal,” ujar Ade mengenang masa lalunya. Meski tak ada jalur olahraga dalam keluarganya, Ade telah mengenal olahraga sejak umur enam tahun. Bisa jadi kegemaran sang ayah, I Gusti Rai Widjaya, yang menggemari berbagai cabang olahraga di masa mudanya, merasuk dalam jiwa Ade kecil. Malah sejak usia 9 - 17 tahun Ade rutin berlatih bulu tangkis hampir tiap hari.
Di usia 17, terjadi titik balik. Displin latihan bulu tangkis sempat mengacaukan sekolahnya. Saat itu orang tuanya menawarkan pilihan, meneruskan atau berhenti latihan bulu tangkis. “Saya pun mantap mendahulukan sekolah sebab sekolah itu kewajiban sekaligus tanggung jawab pada orang tua dan diri sendiri,” kata Ade.
Tujuannya, menang panco!Garis hidupnya rupanya menentukan lain. Di sekolahnya, SMA Kanisius Jakarta - yang muridnya cowok semua - saat itu sedang musim panco. Tak terkecuali pemuda jangkung bernama lengkap I Gusti Agung Rai Kusuma Yudha itu pun ikutan.
Dari pengalaman bertanding panco ia mendapat pelajaran perlunya motivasi dalam mengerjakan sesuatu. Ia pun membandingkan, antara saat kalah bertanding main bulutangkis dan kalah main panco. “Dulu kalau kalah main bulutangkis, saya merasa biasa saja. Tapi saat kalah panco, saya kecewa luar biasa,” tuturnya. Dengan semangat untuk bisa menang, tiap hari ia berlatih keras dengan ber-push-up mulai ratusan hingga ribuan kali. Selain itu Ade rajin mengangkat barbel, terutama yang dobel untuk memperbesar dan memperkuat otot lengan. Usaha lain pemuda kelahiran Jakarta, 6 Mei 1970, itu adalah bergabung dengan fitness center yang lagi mode. Dari pendekatan secara alamiah, tubuhnya ternyata berkembang makin atletis.
Tak heran bila Yoppy Irawan, manajer tim binaraga DKI (saat itu) yang kebetulan bertemu saat Ade berolahraga di kompleks Senayan, mengajaknya untuk ikut binaraga.
Arahan baik baru didapat setelah Ade tinggal di Bandung. Tepatnya Oktober 1989, ketika ia jadi anggota klub SOSI (School of Selfdefense Indonesia) di kota kembang. SOSI jadi kelompok binaraga pertama yang dimasukinya. Tujuannya waktu itu pun bukan untuk jadi atlet, tapi sekadar ingin tahu lebih banyak tentang binaraga. “Waktu itu saya kuliah di Unpar sebelum kemudian pindah ke Jakarta karena diterima di FISIP UI jurusan Hubungan Internasional,” paparnya.
Di klub SOSI, atlet yang kini bertinggi 183 cm dan berbobot 92 - 100 kg itu berlatih bersama beberapa binaragawan. Di antaranya Sukardi (juara nasional 1990, PON 1985 dan 1989, serta juara 4 kali SEA games), Benni Wijaya (juara nasional kelas 85 kg), dan Tommy Hendarmin (juara nasional 1990 kelas 80 kg).
Ade bilang, dalam binaraga teman latih itu paling utama. “Dengan teman latih yang baik, kita jadi tertantang dan bersemangat memperbesar otot. Pelatih sesekali saja diperlukan untuk menambah pengetahuan,” tutur Ade yang belum juga punya pelatih khusus.
Melihat perkembangan otot-ototnya, teman-teman dekat seklub berpendapat, kalau ada pertandingan panco, Ade Rai pasti menang. Uniknya, ayahnya tidak tahu apa yang tengah dia tekuni. Malah orang tuanya sempat mengingatkan untuk tidak buang-buang waktu dengan rajin olahraga yang bisa mengganggu prestasi sekolah.
Setelah bergelut dengan barbel selama tiga tahun lebih, Ade Rai memberanikan diri mengikuti Kejurnas Antarwilayah di Bali pada Juni 1992. Tak disangka, kenekadannya yang tanpa didahului persiapan apa-apa membuahkan hasil gelar juara pertama di kelas 80 kg menengah ringan. “Saya gembira sekali, baru pertama berlomba langsung merebut medali emas. Apalagi saya tampil apa adanya. Mungkin karena potensi dan bakat saya di sana. Sejak itu saya makin yakin, binaraga memang bidang saya,” kenangnya sambil tertawa mengingat ia sempat malu saat mendapat sambutan tepuk tangan penonton.
Orang tuanya pun terkejut. “Ketika saya pulang membawa piala, ayah setengah tidak percaya atas apa yang saya raih. Dengan prestasi itu, akhirnya orang tua saya mendukung.”
Di perlombaan berikutnya, Kejurnas Binaraga, Oktober 1992 di Semarang, Ade menyabet medali perak di kelas berat ringan (90 kg). Meski gagal meraih emas, prestasinya sempat membuat para pengamat terkejut karena ia belum dikenal.
Dengan prestasinya itu Ade terpilih masuk pelatnas di Bogor dalam persiapan SEA Games 1993 Singapura, meski dalam seleksi akhir ia gagal, kalah oleh seniornya Wemphy Wungouw. Namun selama di pelatnas, ia sempat menarik perhatian. “Posturnya sangat ideal untuk binaraga. Ia sangat potensial di kelas berat ringan atau di kelas berat (90 plus),” M. Khalim, mantan Mr. ASEAN 1979 Bangkok pernah berpendapat.
Keberhasilannya itu tak lepas dari disiplin tinggi dalam berlatih, serta upaya Ade menangguk banyak pengetahuan mengenai binaraga dari buku, majalah, video, dan bertanya pada yang berpengalaman. “Binaraga berbeda dengan olahraga lain. Kalau atlet olahraga lain bisa didisiplinkan dengan perintah bangun, makan, dan latihan. Dalam binaraga pemaksaan semacam itu bisa mengakibatkan otot tidak berkembang. Jadi, sesungguhnya olahraga binaraga sangat individual dan tergantung pada si pelaku.”
Yang diperlukan oleh seorang binaragawan adalah kondisi positif yang dipengaruhi oleh kombinasi tiga faktor yaitu makan teratur dan bergizi, istirahat cukup untuk pemulihan otot, dan latihan keras. Semua itu akan menghasilkan otot yang berkembang baik.
Binaragawan alamiahMakin lama bergulat dalam dunia kebinaragaan, dalam dirinya muncul pemahaman baru, binaraga bukan sekadar sport, tapi juga art dan science. “Seninya terletak dalam membentuk tubuh. Bukan cuma yang tinggi gede yang akan menang. Tapi bagaimana agar tubuh bisa tampil berotot tapi indah secara proporsional dan simetris,” tutur putra kedua pasangan I Gusti Rai Widjaya dan Selena Susanti.
Orang tuanya pun tak pernah menduga Ade berprestasi di binaraga. (Foto: Dok. pribadi)
Sedangkan pengetahuan diperlukan agar lebih memudahkan atlet mencapai hasil yang baik dan optimal. Dari banyak belajar itu pula, Ade makin tahu peran makanan bagi pembentukan tubuhnya. “Dulu saya hanya tahu, makan banyak dan latihan keras. Ternyata pendapat itu keliru,” aku Ade yang sejak itu mulai melakukan pengaturan makanan atau diet. Prioritasnya disesuaikan dengan kebutuhan makan atlet yang tentu berbeda dengan orang biasa. Ia mengatur persentase konsumsi protein, karbohidrat, dan lemak, serta tambahan vitamin dan mineral.
“Karena binaragawan perlu menampilkan otot, jadi harus mengkonsumsi protein sebagai bahan dasar pembangun otot dalam jumlah cukup tinggi,” tutur Ade. Sedangkan lemak diperlukan sebagai energi saat latihan.
Dalam menentukan menu, ia harus tahu terlebih dulu dari mana karbohidrat bisa diperoleh, “Misalnya dari kentang, ubi, nasi, sayur, dan buah-buahan, protein dari putih telur, ikan, ayam, daging, sedangkan lemak dari kacang-kacangan dan susu.”
Frekuensi makan Ade Rai pun berbeda dengan orang awam yang umumnya makan tiga kali dalam porsi banyak. Porsi makannya tidak terlalu banyak namun dilakukannya tiap empat jam. Komposisi kandungan protein, karbohidrat, dan lemak tiap kali makan adalah 40% : 40% : 20%. “Lain lagi kalau menjelang perlombaan, porsi protein, karbohidrat, dan lemak menjadi 60 : 20 : 20. Tujuannya agar badan saya jadi kencang hingga mampu menampilkan ‘urat-urat’ dengan jelas,” tutur Ade sambil menambahkan karbohidrat yang terlalu banyak juga bisa jadi lemak.
Dengan pola diet demikian Ade tak sungkan menyebut dirinya sebagai natural body builder, “Karena saya melakukannya secara alami, dengan usaha sendiri dengan makanan sehari-hari dan suplemen. Suplemen sendiri adalah makanan tambahan berupa vitamin dari bahan alami melalui proses kimia.”
Bagi Ade, pantang menjadi juara dengan menggunakan steroid atau obat-obatan terlarang lainnya. “Menjadi juara dengan cara begitu sama artinya dengan berbuat curang. Meski olahragawan harus berprestasi semaksimal mungkin, saya berusaha untuk tetap mengutamakan kesehatan.”Dalam perlombaan, Ade mengaku, targetnya bukan melulu mendapat kemenangan. “Kalah-menang adalah masalah emosi. Yang penting, bagaimana saya dapat tampil dengan kondisi paling baik. Setiap kali bertanding saya harus tampil lebih baik daripada pertandingan sebelumnya. Bagi saya, kemenangan tidak ada artinya bila penampilan saya sebenarnya lebih buruk dari sebelumnya.”
Juara dunia, bukan targetDengan sejumlah resep dan kiatnya itu tak heran bila Ade mampu memborong sejumlah gelar juara. Di antara sejumlah kemenangan yang diraih, yang paling membanggakannya adalah Pro-Am Classic dan Muscle Mania. “Khususnya Muscle Mania tahun 1996 di AS. Bayangkan, saya bisa jadi juara pertama over all dalam perlombaan di negara yang bidang binaraganya sudah sangat maju. Selain itu, diliput ESPN dan terpampang masuk Majalah Muscle Mania,” kisahnya.
Selama ini, dunia binaraga Indonesia masih kesulitan mencari atlet untuk bertarung di kelas berat - 90 kg ke atas. Kalaupun ada, bentuk tubuh mereka tidak simetris dan harmonis. Satu keuntungan dengan hadirnya Ade Rai, yang menurut beberapa pengamat, sebagai calon “raja” kelas berat nasional, bahkan mungkin mampu bersaing keras di forum internasional.
Siapa sangka dulu Ade bertubuh kerempeng? (Foto: Dok. pribadi)
Menurut mantan juara nasional kelas berat tak terkalahkan 1976 - 1989 dan runner up Asia 1977 kelas berat ringan dan kelas berat 1979, Ir. Ridwan Kodyat, “Ade Rai bakal tak terbendung kalau ia benar-benar mencurahkan kegiatannya pada binaraga. Tidak saja di tingkat nasional tapi juga di kejuaraan dunia. Pasalnya, Ade punya modal kuat. Selain posturnya menunjang dan ototnya indah, ia juga tampan, enak untuk ditonton. Tapi semua tinggal bagaimana kemauan keras dirinya.”
Ade yang mengagumi otot Francis Benfato dan Kevin Levrone mengaku, tidak memiliki target harus jadi juara dunia atau yang lain. “Biarlah segala sesuatunya berjalan secara bertahap. Kembali ke prinsip bahwa saya harus terus berlatih meningkatkan kondisi dan potensi saya, sambil terus mengikuti kesempatan bertanding yang ada. Kalau memang nanti bisa jadi juara dunia, yah kenapa tidak?”
Menurut Ade sendiri, di tubuhnya masih banyak ruang yang bisa ditingkatkan. Mengisi weak point, misalnya di betis. Untuk itu Ade terus berlatih dan berusaha menambah berat badan, dengan harapan otot bagian bawah bisa seimbang dengan otot bagian atas - lebih simetris dan harmonis. “Mudah-mudahan bisa tambah lagi, paling tidak lebih dari 100 kg,” tutur Ade yang bertekad untuk terus jadi atlet meski nanti sudah lewat 30 usianya. Berbeda dengan atlet jenis olahraga lain yang dianggap tua bila berusia lewat dari itu, “Dalam binaraga, biasanya usia 30 - 40 tahun justru masa keemasan. Untuk mengembangkan otot perlu waktu yang cukup lama,” aku Ade yang baru berlatih setelah usia 20. Berlatih binaraga, menurut Ade, kurang tepat dilakukan sebelum umur 20 tahun karena atlet diharuskan berdiet. Akibatnya, pertumbuhan badan pun bisa terhambat.
Ade yang sarjana ini berterus terang tidak bermotivasi untuk meneruskan pendidikannya ke tingkat lebih lanjut, “Kalau kegiatan itu benar-benar saya sukai, pasti hasilnya baik. Jadi, kalaupun melanjutkan tidak akan ke politik tapi mungkin ke sport management.”
Gagal akibat rusuhSetelah meraih berbagai prestasi, Ade merasa sudah waktunya untuk mengembangkan olahraga yang digeluti. Ia mengaku tidak ingin jadi pelatih perseorangan, tapi ingin “melatih” banyak orang agar punya kesadaran untuk berolahraga dan bergaya hidup sehat. Untuk itulah, Ade sering terlibat dalam banyak seminar untuk lebih memasyarakatkan idenya.
Sebenarnya binaraga adalah kesadaran untuk punya badan lebih bagus dan sehat. Seseorang yang mempraktikkan tiga faktor - makan teratur dan bergizi, berolahraga, dan beristirahat - sebenarnya sudah melakukan binaraga. Namun, yang mesti dijalani tiap orang harus sesuai dengan kondisi dan tujuan masing-masing. Apakah menurunkan berat badan, melangsingkan tubuh, ingin sedikit berotot atau ingin berotot banyak. Pada dasarnya binaraga adalah memaksimalkan otot dan meminimalkan lemak sesuai kondisi masing-masing.
Semangatnya untuk memasyarakatkan binaraga berkaitan dengan usaha pemerintah untuk menjadikan olahraga sebagai industri. “Bagaimana mungkin itu terwujud kalau belum ada kesadaran masyarakat untuk hidup sehat. Percuma saja dibangun stadion megah dengan fasilitas lengkap tapi tidak banyak yang memanfaatkannya,” ia memberi contoh.
Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat, ia yakin, olahraga bisa jadi industri yang bisa menghidupi atlet, pengurus, pembina, atau profesional di bidang olahraga. Sementara ini yang sudah tercapai hanya bidang bulu tangkis dan tenis.
Khusus binaraga, Ade mencoba menyemarakkan dengan membuka dua gim dalam tahun ini. Gim yang dinamai Klub Rai rencananya akan dibuka pertama kali di Atrium Senen pada Agustus ini, dan yang kedua di Kebayoran Lama. Semua itu untuk menjawab kekurangan yang ada selama ini. “Yang ada, untuk tempat yang bagus biaya anggotanya mahal, sedangkan yang sesuai kantung menyediakan fasilitas yang tidak lengkap. Jadi, saya mengusahakan ada tempat berlatih yang sedang, bersih, fasilitas memadai, tapi tidak mahal.”
Selain itu, “Saya mencoba memproduksi pakaian olahraga, yang sementara ini hanya bisa diperoleh di luar negeri. Dengan harga dolar yang tinggi seperti sekarang ini, tentu pakaian itu jadi sangat mahal,” tuturnya sambil menambahkan, pakaian olahraga sudah dipasarkan dan nantinya akan dipajang bersama-sama suplemen - yang sayangnya masih harus diimpor - di toko di bawah gim. Yang lainnya adalah menyediakan alat latihan buatan lokal yang tentu lebih murah.
Ia juga ingin mengadakan perlombaan secara kontinu. Menurutnya, binaraga punya pasar sendiri, terbukti dengan setiap kali digelar perlombaan bisa menarik penonton hingga ribuan orang.
Sayangnya, perlombaan binaraga di Indonesia jarang diadakan dengan alasan terbentur masalah dana. Baginya, “Semua itu tergantung niat pelaksana karena dana bisa dicari melalui kerja sama,” jawab Ade.
Yang ia herankan, lomba otomotif setingkat kejuaraan dunia yang luar biasa bisa diadakan, tapi kejuaraan binaraga yang sederhana dan hanya memerlukan gedung, tata lampu, panggung, susah diselenggarakan. “Ini tantangan bagi saya. Sekarang saatnya saya tidak cuma bicara. Mengajak orang berlatih, tapi saya menyediakan wadah untuk menyalurkan hasil latihan mereka dalam perlombaan binaraga,” tuturnya yakin perlombaan akan berjalan baik bila diadakan di tempat yang baik dan dipublikasikan dengan baik. Ini terbukti dengan rencananya berupa Pesta Raga yang sudah menjaring peserta hingga 300 orang. “Sayangnya gagal, karena diselenggarakan pada 16 Mei, pas sehari setelah kerusuhan lalu,” jawab Ade getir.
Pekerjaan lain yang tengah ditanganinya adalah menulis buku tentang binaraga. “Tujuannya sama, menyediakan informasi dan pengetahuan yang masih sangat kurang mengenai binaraga di Indonesia. Tapi karena sibuk latihan dan sering kesulitan mendapatkan mood yang enak, pekerjaan ini belum selesai.” Ia mengaku baru menyelesaikan separuh dari seluruh jumlah bab dalam bukunya.
Daging diganti tempeTak heran bila muncul pertanyaan, apakah Ade kebal krisis ekonomi karena memulai bisnis justru dalam situasi yang tidak menunjang? Dengan serius Ade menolak pendapat itu, “Ada beberapa promosi yang menggunakan saya sebagai model terpaksa dibatalkan.”
Ade mengaku rada idealis. “Dalam arti saya tidak mau pakai aji mumpung, semua tawaran diambil asal menghasilkan uang. Prioritas saya tetap jadi atlet yang baik. Kalaupun jadi bintang iklan, saya melihatnya sebagai sarana efektif untuk mempromosikan binaraga.”
Dengan enteng binaraga berambut gondrong yang selalu dikuncir saat manggung itu kembali nyeletuk, “Daripada pusing mikir uang lebih baik mikir ngegedein badan.” Untungnya lagi, beban untuk mengeluarkan dana latihan bisa ditekan karena ia mendapat keanggotaan gratis untuk berlatih di Grand Hyat & Kuningan.
Entah sikap cuek ataukah motivasi kuat yang membuat Ade tidak sungkan membawa makanan sendiri saat ngumpul bareng teman-temannya. “Jelas harus punya motivasi kuat. Dengan kesadaran untuk maju, meski diajak ke restoran dengan masakan paling enak pun saya tetap akan membawa makanan sendiri. Kalau tidak, saya bisa saja pesan makanan asal jangan pakai minyak atau mentega, kecap, atau yang lainnya,” jelas Ade yang buru-buru menambahkan, diet itu berlaku untuk dirinya. “Jangan sampai masyarakat punya persepsi bahwa gula, garam, lemak itu tidak baik. Kalau badan orang awam berlemak sedikit ‘kan tidak apa-apa. Kalau atlet binaraga sih, tidak boleh,” papar Ade yang menggantikan minuman manis dengan banyak-banyak minum air putih.
Bujangan yang hobi nonton film itu juga mengaku, gaya hidup dengan pengaturan makanan itu sebenarnya luwes digunakan. “Bila di luar kota, saya bisa saja belanja di pasar dan masak sendiri,” ujar Ade yang tak segan menggantikan daging dengan tempe yang harganya jauh lebih murah. (Shinta Teviningrum/Yds. Agus Surono)
darin : intisari/1998/agustus
Sumber: http://nge-gym.blogspot.co.id/2008/09/ade-raibinaraga-sebagai-gaya-hidup.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar